Monday, July 7, 2014

Tentang Burung Yang Tertidur Pulas


Judul Buku : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Penulis : Eka Kurniawan

Halaman : 252

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang.

Blurb yang ada di belakang buku bersampul unyu ini memang membuat penasaran. Alkisah Tokek mengajak sahabatnya Ajo Kawir untuk melihat sesuatu yang lebih dahsyat daripada dada istri ketiga Pak Kepala Desa. Keduanya mau mengintip Rona Merah, seorang perempuan gila, sedang mandi. Namun malam itu ada yang berbeda. Dua orang polisi datang ke rumah Rona Merah, memandikan perempuan itu, kemudian menelentangkannya di atas meja. Ajo Kawir dan Tokek yang mengintip lewat lubang di  jendela terkejut. Lebih terkejut lagi, ketika Ajo Kawir tertangkap basah oleh polisi itu. Ajo Kawir dipaksa menyaksikan kedua polisi itu memerkosa Rona Merah. Sejak saat itu burung Ajo Kawir tertidur. Dia tidak bisa ereksi.

“Suatu ketika, burungmu akan berdiri lagi. Percaya saja. Lagipula, kalau sekarang bisa berdiri, memangnya mau kamu pakai untuk siapa?”

Segala cara telah  dicoba oleh Ajo Kawir untuk membangunkan burungnya, mulai dari diusap, diisap, digosok cabe rawit, disengat lebah, sampai baca stensilan. Tokek yang merasa bersalah menghibur sahabatnya meyakinkannya bahwa tidak masalah burungnya tidur karena toh belum dipakai juga. Ajo Kawir pun mengiyakan. Sebagai pelampiasan dia jadi doyan berkelahi. Ada waktu dimana dia harus memukul orang. Hingga suatu waktu, Paman Gembul datang menawarkan pekerjaan untuk membunuh seseorang bernama Si Macan. Diiming-imingi imbalan uang Ajo Kawir menerima tawaran itu. Lagipula uangnya akan dia pakai untuk melamar Iteung, pacarnya.

Awalnya Ajo Kawir tidak percaya diri ketika Iteung menyatakan cintanya pada Ajo Kawir. Apalagi kalau bukan masalah burung. Tapi ketika Iteung mengatakan bahwa dia cukup bahagia dengan jari-jari tangan Ajo Kawir, maka dilangsungkanlah pernikahan mereka. Masalah baru muncul ketika Iteung hamil. Jelas saja itu bukan ulah burungnya Ajo Kawir. Ajo Kawir terluka, dia pergi meninggalkan Iteung yang ternyata mengkhianatinya.

Brutal dan vulgar, tapi jauh dari picisan. Itulah kesimpulan saya setelah menamatkan buku ini. Dari awal hingga akhir buku ini semuanya terasa blak-blakan. Eka Kurniawan memanjakan pembaca dengan kalimatnya yang lugas sehingga memudahkan pembaca membentuk imajinasi tentang isi buku ini. Eka tidak menggunakan kata "vagina" atau "penis" untuk menyebutkan alat kelamin, tapi memakai kata "memek" dan "burung". Ejakulasi diistilahkan dengan burung yang muntah-muntah karena masuk angin. Ada pula istilah "pelbur" -- nempel langsung nyembur. Meski "transparan", saya ga merasa memerlukan kipas untuk membaca buku ini.

Satu bab berisi paragraf-paragraf pendek yang seakan-akan tumpang tindih alur waktunya. Kesemuanya menceritakan tentang upaya membangunkan burung Ajo Kawir. Pengkhiantan Iteung adalah titik balik dimana akhirnya Ajo Kawir mengalah, dan mengikuti diamnya si burung. Ajo Kawir bahkan sering berkonsultasi dengan burungnya, dan menjadikannya lebih bijak,

“Kenapa kau selalu bertanya kepada burungmu untuk segala hal?” tanya Mono Ompong penasaran, sekali waktu
“Kehidupan manusia ini hanyalaj impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.” Si Tokek akan mengatakan, itu filsafat.

Yang menarik dari isi buku ini selain kisah yang tidak biasa adalah penggunaan nama tokoh-tokoh di dalamnya. Selain Ajo Kawir, Tokek dan Iteung ada Iwan Angsa (bapaknya Tokek yang menganggap Ajo Kawir seperti anaknya sendiri), Paman Gembul (orang yang punya pengaruh penting di jaman Orde Baru), Mono Ompong (kenek Ajo Kawir), si Macan (jagoan yang dicari-cari oleh Ajo Kawir), dan masih banyak lagi. Semua punya peranan penting dalam perjalanan hidup Ajo Kawir. Sepertinya ini juga menjadi ciri novel karya Eka dimana setiap tokohnya tidak akan tampil semata-mata hanya sebagai pajangan.

Sama halnya dengan buku ‘Cantik Itu Luka” yang sarat konten dewasa, buku ini juga demikian. Bahkan kadarnya lebih banyak. Jelas saja, yang dibahas juga tentang alat kelamin dan kemampuannya. Untungnya selain memberikan label novel dewasa, penerbit juga menambahkan logo 21+ di sampul belakang buku ini. Membaca buku ini memang perlu kedalaman berpikir layaknya orang dewasa.

Sampai akhir cerita saya bertanya-tanya, mengapa burung Ajo Kawir begitu penting sampai menjadi topik utama sebuah novel? Saya akhirnya mereka-reka sendiri. Sesuatu yang vital seperti alat kelamin masih merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Tapi siapa sangka hal itu bisa memicu banyak peristiwa besar lainnya. Ketika si burung memutuskan untuk tertidur, tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk membangunkannya, kecuali atas kehendak si burung itu sendiri. Fase diam juga sesekali diperlukan agar kebijaksanaan bisa terbentuk. Mungkin dalam diam, ada banyak waktu untuk merenung dan berpikir panjang, sehingga lebih banyak bersabar. Lantas apakah burung Ajo Kawir bisa bangun?
“Aku akan bersabar menunggunya, seperti kau bersabar menungguku bangun, Tuan. Bolehkah sementara menunggu aku tidur lagi?“
*gubrak *

2 comments:

  1. Menurut saya buku ini tidak sebagus Cantik Itu Luka. Terkesan dipaksakan untuk menjadi novel tanpa pesan moral (sebagaimana pesan Eka Kurniawan: novel tidak harus punya pesan moral)... begitu kesan saya.

    ReplyDelete
  2. Memang nggak harus punya pesan moral. Yang penting menghibur :)

    ReplyDelete

Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk memberi komentar :)